Bab 19
Bab 19
Bab 19 Perjalanan Bisnis
Pagi tiba dan Vivin bangun setelah terlelap dengan nyenyak. Dia bangun setengah jam lebih awal. Setelah mandi, dia menyalakan laptopnya dan segera mulai menulis surat pengunduran diri.
Dia tidak peduli orang akan menganggapnya sebagai pengecut yang melarikan diri, dia tidak bisa bekerja di bawah Fabian lagi.
Saat dia sedang mengetik dengan marah, teleponnya berdering dan nomor rumah sakit muncul di layar.
“Dengan Ibu Vivin? Pagi ini gelombang otak pasien berfluktuasi. Kemungkinan Ibu Anda akan segera sadar.”
Mata Vivin membelalak dengan senyum lebar di wajahnya. “Ibuku akan sadar?”
“Ya, ada kemungkinan begitu. Tapi kami tidak ingin terlalu percaya diri,” kata dokter.
“Saya mengerti. Saya akan tetap menunggunya meski bertahun-tahun lamanya!” seru Vivin, melompat berdiri.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Sekarang kami memberi perawatan yang berbeda. karena kondisinya membaik. Tetapi Anda perlu mempersiapkan biaya perawatan.” Suara dokter semakin dalam.
“Jangan khawatir, saya telah mengurus asuransi kesehatannya. Dan saya akan membayar semua. biaya yang tidak ditanggung asuransi.” Setelah meyakinkan dokter bahwa dia akan mencari cara untuk membiayai perawatan ibunya, Vivin menutup telepon.
Dia duduk kembali dan melihat surat pengunduran dirinya yang baru setengah terketik. Akhirnya dia menghapus semua ketikannya dengan bibir mengerucut.
Dia tidak bisa kehilangan pekerjaannya sekarang. Karena dia harus membayar perawatan ibunya, selain itu tidak mudah mendapat pekerjaan lagi dalam waktu dekat.
Vivin bergegas bersiap-siap dan segera berangkat kerja.
Dia akan menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Karena Finno belum pulang sejak pagi, dia menyudahi sarapannya tergesa-gesa dan segera memanggil taksi.
Perusahaan majalahnya baru-baru ini mendapatkan proyek jangka panjang yang besar dengan perusahaan majalah lain di Kota Langsa. Perusahaan menyepakatinya, bahkan Fabian melakukan perjalanan bisnis untuk menyelesaikan rincian kontrak.
Memikirkan hal ini, Vivin hanya bisa menghela nafas lega.
Dia berharap Fabian akan segera pergi, maka dia tidak harus menghadapinya di perusahaan.
Tetapi semuanya tidak sesuai harapan. Tidak lama setelah dia tiba di kantor, Leli Junarta, editor senior, bergegas menghampirinya. “Vivin, kau harus bersiap-siap sekarang. Kau akan melakukan perjalanan bisnis ke Kota Langsa dengan Pemimpin Redaksi.”
Vivin melompat dari kursinya dan menatapnya dengan bingung. “Bu Lely, bukankah Pemimpin Redaksi punya asisten pribadi? Seharusnya bukan aku yang melakukan perjalanan bersamanya!”
Editor senior menatapnya dan mengangkat bahu. “Yah, jika kau keberatan, kau harus bicara dengan Pemimpin Redaksi sendiri. Dia yang memintamu pergi.”
Vivin memutar matanya dan mengepalkan tangannya.
Apa yang ingin dia lakukan?Dia akan segera menikah! Apa yang dia inginkan dariku?
Vivin berjalan menuju kantor Fabian tanpa membuang waktu. Dia harus berbicara dengannya.
Tetapi sebelum dia bahkan bisa mengetuk pintu, pintu kantor terbuka di depannya dan di sana Fabian berdiri tepat di depannya.
Dia tertegun pada awalnya, tetapi dia dengan cepat menenangkan diri dan menatapnya dengan dingin. “Vivin, tunggu apa lagi? Kita pergi sekarang.”
Vivin memelototinya dan menjawab, “Pak Normando, aku tidak akan pergi bersamamu.”
Merasakan tekad dalam suaranya, Fabian sangat marah. “Akulah yang memutuskan semua di sini. Jika kau tidak menurut, kau bisa mengundurkan diri kapanpun kau mau.”
Vivin menggertakkan giginya, mencoba menelan amarahnya kembali.
Dia bisa saja menyerahkan surat pengunduran diri jika mau, jadi dia tidak perlu lagi melawan. Fabian Normando. Tetapi karena rumah sakit menelepon pagi ini, dia tidak bisa melakukannya. sekarang. Dia masih butuh uang itu.
Fabian mencibir saat dia menatap tanpa sepatah katapun. “Karena kau tidak bisa pergi sesukamu, lebih baik kau bersiap-siap sekarang. Penerbangannya jam 3. Ketinggalan penerbangan berarti kau kehilangan pekerjaan.” Material © of NôvelDrama.Org.
Dia berbalik dan pergi tanpa menunggu persetujuan Vivin.
Tapi sepertinya Vivin tidak punya pilihan. Dia harus menurut dengan apa yang dia katakan. Vivin menggerutu sambil mengeluarkan ponselnya dan menelepon Muti untuk mengemasi barang bawaannya.
Setelah mendapat teleponnya, Muti bergegas mengemasi barang-barang Vivin. Dia menyiapkan semuanya dalam satu jam, bahkan membawa barang bawaan Vivin ke kantornya.
“Terima kasih banyak ya Mbak Muti. Maaf merepotkanmu. Aku bener-benar tak punya waktu untuk pulang dan berkemas,” kata Vivin meminta maaf sambil mengambil kopernya dari Muti.
Muti senyum sopan pada Vivin. Para pelayan sangat patuh pada istri tuan mereka. Vivinpun juga
selalu sopan, pengertian, dan rendah hati ketika berbicara dengan para pelayan. “Tidak perlu begitu Nyonya, Ini sudah menjadi tugas saya. Apa Nyonya sudah mengabari Tuan Finno tentang
ini?
Vivin terkesiap.
Dia benar-benar lupa memberi tahu Finno tentang perjalanan bisnisnya. Dia begitu diliputi kemarahan karena permintaan konyol Fabian sehingga dia benar-benar lupa memberi tahu Finno.
“Aku akan memberitahunya,” kata Vivin sambil melambaikan tangan pada Muti.
Dia meraih ponselnya begitu dia kembali ke mejanya dan menelepon Finno. Tapi dia tidak mengangkat.
Mungkin dia sedang rapat.
Karena berpikir itu bukanlah hal yang begitu penting, dia memutuskan untuk mengirim pesan singkat saja daripada meneleponnya lagi. Setelah mengirimi Finno pesan, dia pergi ke bandara bersama Fabian.
Di Finnor Group, Finno menggulirkan kursi rodanya ke kantor presiden untuk berbicara dengan Noah.
“Mengenai proyek Kota Langsa, lebih baik dbatalkan saja. Pihak lain tampaknya tidak terlalu tertarik dengan proyek tersebut.”
Noah mengangguk dan menulis sesuatu di buku catatannya. “Baiklah. Oh iya Pak, tadi Ibu Vivin menelepon saat rapat.”
Tangan Finno berhenti dan dia berbalik. “Vivin menelepon?”
Dia agak terkejut, tetapi sesuatu yang mendesak pasti terjadi. Finno mengambil ponselnya dari Noah dan melihat pesan WhatsApp-nya.
Sesuatu tiba-tiba terjadi di perusahaan dan aku harus melakukan perjalanan bisnis selama beberapa hari di Kota Langsa dengan Pemimpin Redaksi.
Finno terlihat kesal ketika membaca pesannya. Bukan karena dia terlambat memberitahu, tapi karena pesan perpisahannya yang terdengar kaku.
Dia mengunci ponselnya dan menghela nafas kecewa. Noah merasa ada yang tidak beres, jadi dia. dengan cepat menyerahkan setumpuk dokumen ke Finno. “Pak, ini semua informasi yang saya dapatkan tentangnya.”
Finno mengambil map tebal itu darinya dan membukanya. Wajahnya memerah dan menegang setelah membaca hanya beberapa baris di halaman pertama.
Dia membanting folder itu hingga tertutup dan matanya terbakar amarah. “Kita pergi ke Kota Langsa, sekarang!”