Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 720



Bab 720

Mangkuk bubur yang Harvey pegang langsung nyaris terjatuh, dia segera menjelaskan, “Sell,

masalahnya nggak seperti yang kamu pikirkan! Aku dan Agatha nggak…”

“Mau ngarang cerita apa lagi kamu?” sela Selena sambil menatap Harvey dengan dingin. “Coba Jawab. waktu aku dan Agatha sama–sama tercebur ke dalam laut, siapa yang kamu tolong?”

Kejadian ini adalah yang satu–satunya membekas dalam ingatan Selena. Bahkan jika sekarang

mengingatnya lagi, hatinya masih terasa begitu sakit.

Karena Selena sudah bertanya seperti ini, Harvey pun tahu dia tidak bisa menyembunyikannya lebih

lama lagi.

*Seli, waktu itu ada alasan kuat kenapa aku bersikap begitu.”

Selena pun menyahut dengan dingin, “Oke, anggap saja kamu punya alasan kuat. Tapi, kenyataannya kamu lebih memilih menolong orang lain daripada istrimu sendiri. Jadi, maaf, aku nggak bisa bersimpati dengan apa pun alasanmu. Cuma rasanya ironis saja. Kamu benar, memang lebih baik aku lupakan saja soal itu karena aku cuma akan merasa kesakitan kalau mengingatnya lagi.”

Respons Selena yang begitu tegas membuat Harvey tidak tahu harus bagaimana menjelaskan. Dia tahu Selena tidak akan memercayai apa pun penjelasan yang dia berikan, sekalipun itu adalah kenyataannya.

Karena bagi Selena, Harvey adalah seorang pembohong.

t

Ellia mengambil mangkuk bubur itu, lalu berkata sambil menatap Harvey dengan tajam. “Selena, kamu nggak usah mikirin Harvey, dia memang keras kepala. Sini, biar Ibu saja yang suapi. Kamu harus makan

supaya cepat sembuh.” Text © 2024 NôvelDrama.Org.

“Cepat sembuh? Ibu, aku nggak bakalan bisa sembuh,” sahut Selena sambil terkekeh pelan. Dia bukan anak yang baru berusia tiga tahun, dia tahu bahwa kemungkinan pasien pengidap kanker stadium akhir untuk tetap hidup bahkan tidak mencapai 1%.

Terlebih lagi jika kondisi pasien sudah separah ini. Selena tahu waktu hidupnya kemungkinan besar

tidak akan bertahan lama.

“Jangan sembarangan ngomong, ilmu kedokteran zaman sekarang ‘kan sudah maju banget. Nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhkan. Jangan nambah beban pikiran dengan mikirin hal–hal negatif.

Kamu pasti akan baik–baik saja.”

Ellia balas menghibur Selena dengan lembut. Bagaimanapun juga, pasien pasti merasa sangat stres

1.2

+16 BONUS

begitu mengetahui mengidap penyakit separah ini. Tekanan mental ini membuat pasien yang seharusnya masih bisa hidup beberapa bulan lagi malah meninggal dalam dua tiga hari saking

ketakutannya.

Di sisi lain, Selena terlihat cukup pesimis. Dia terlihat seperti seseorang yang siap menjemput ajalnya.

Meskipun begitu, Selena juga tidak memperdebatkan pendapat Ellia. Dia menundukkan kepalanya dan menyantap buburnya seperti seekor anak kucing yang patuh.

Awalnya, Harvey mengira Selena akan menginterogasinya dengan marah, tidak disangka ternyata

istrinya setenang ini. Namun, sikap tenang Selena justru membuat Harvey Jadi merasa takut.

Begitu Selena selesai menyantap buburnya, Harvey pun hendak mencoba mengajak Selena bicara lagi. Namun, Selena langsung menolaknya dengan tegas. “Pulang saja, kamu pasti nggak tidur semalaman,” kan? Aku juga nggak mau melihatmu.”

Harvey sontak terdiam.

Kata–kata Selena terdengar begitu menohok, tetapi nada suaranya lembut sekali tanpa ada kesan

membenci Harvey.

Ellia menyadari kerenggangan hubungan Selena dan Harvey. Namun, dengan kondisinya yang sedang lemah, Selena tidak boleh sampai stres atau marah–marah. Penumpukan emosi negatif hanya akan

memperburuk kondisinya.

Ellia pun menengahi dengan berkata, “Harvey, kamu pulang saja dulu dan ganti baju. Tuh lihat, badanmu berlumuran darah begitu. Orang juga jadi takut ngelihatnya.”

Harvey berpikir sebentar, lalu akhirnya mengalah. Penampilannya memang sangat acak–acakan.

Saat Harvey tiba di rumah, Jesika sedang tidur di atas sofa. Kepalanya terangguk–angguk menahan kantuk. Sementara itu, William yang berhasil diselamatkan setelah kehilangan banyak darah sudah siuman dan sedang bersandar pada kaca.

Setelah dipaksa berlutut semalaman, lutut William pun terasa kebas.

Jesika pun terbangun dan melihat Harvey sudah pulang. Dia segera menghampiri Harvey, lalu berkata,”

Harvey, tolong maafkan dia. Dia ‘kan adikmu.”

Harvey hanya balas menatap Jesika dengan tajam. “Dia yang salah.”

Entah ucapan Harvey itu untuk menyindir William atau

dirinya sendiri.

Bukankah dia sendiri yang menyebabkan semua ini terjadi?


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.